Tahun 1442 H telah berlalu, kita masuki tahun baru 1443 H. Suatu kegembiraan karena kita telah melewati tahun 1442 H ini dengan selamat. Meski begitu banyak persoalan yang kita hadapi, namun atas pertolongan Allah Swt kita telah berhasil melaluinya. Hanya saja, satu hal yang perlu kita re-check adalah: (1) apakah waktu yang telah berlalu banyak kita gunakan untuk kebaikan atau sebaliknya? (2) apakah kita sudah siap dengan perencanaan-perencanaan di tahun depan? (3) apakah kita akan tetap nyaman dengan kondisi yang ada, atau sebaliknya perlu keluar dari zona nyaman yang selama tahun lalu kita ikuti?
Untuk mengetahui hal itu semua, kita harus melakukan introspeksi. Yaitu, melihat “ke dalam” dengan jujur dan ikhlas, tentang apa yang telah kita lakukan di masa lalu. Sebagai manusia biasa, kita tentu tidak bisa lepas dari dosa dan kesalahan. Tidak ada manusia yang bisa terlepas dari itu bukan? Kita sangat maklum, karena status kita yang hanya “jalma lumrah”, manusia biasa.
Tapi, konsisten dengan kesalahan kita tentu bukan pilihan yang bijak. Allah Swt melalui Rasulullah Saw telah memberikan banyak petunjuk agar kita menjadi manusia yang baik, baik dalam pandangan Allah Swt maupun dalam penglihatan manusia. Maka, introspeksi dan evaluasi diri merupakan satu langkah baik untuk membuat perbaikan diri.
Bagaimana caranya?
Pertama, ketika melihat diri, khususnya dalam kaitannya dengan ibadah kita harus melihat diri kita dengan konteks kekurangannya. Sepantasnya kita merasa kurang dalam beramal soleh seperti kurang bagusnya kita dalam shalat, kurang seringnya kita membaca istighfar, kurangnya kita bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw, kurangnya sedekah dan perhatian kita pada orang miskin, dan seterusnya.
Bukankah ini berarti menjelekkan diri kita sendiri? Tentu perspektifnya bukan itu, tetapi pada upaya menghindari sombong, riya’, dan sum’ah. Karena, tidak patut kiranya kita menyombongkan amal ibadah kita dihadapan Allah Swt.
Dengan kata lain, ketika penyadaran itu telah ada, kita akan tambah bersemangat dalam beribadah. Kita akan senantiasa merasa kurang dan kurang dalam beribadah.
Kedua, tempatkan diri biasa-biasa saja di hadapan sesama manusia. Maksudnya, jangan merasa lebih sholeh dibanding orang lain. Kita tidak pernah tahu ibadah siapa yang paling ikhlas, yang paling khusuk, atau ibadah siapa yang diterima oleh Allah Swt. Meskipun jubah kita lebih panjang, ibadah kita secara kuantitas tampak lebih banyak, namun secara kualitas hanya Allah Swt yang dapat menilai.