Suatu pernyataan yang “mengganggu” adalah ketika seseorang mengatakan: “Untuk apa shalat, tidak shalat juga bisa kaya. Lihat orang-orang Amerika, banyak yang tidak shalat, tidak Islam malahan, tapi mereka malah hidup makmur. Negara-negara Islam, yang banyak penduduknya menjalankan shalat dengan tekun, hanya menjadi negara-negara miskin, yang selalu terbelakang. “
Lantas, sebenarnya mengapa kita shalat? Mengapa kita Islam? Bagaimana kalau seluruh dunia tidak shalat? Bagaimana kalau seluruh manusia tidak mau Islam?
Menjadi muslim, mendirikan shalat, membayar zakat, mengerjakan puasa, melaksanakan ibadah haji, dan ibadah-ibadah lainnya, semuanya adalah “keperluan” dan “kepentingan” manusia. Sama sekali bukan kepentingan Allah Swt. Seandainya semua manusia di seluruh dunia tidak menyembah Allah Swt, maka tidak terkurangi sedikit pun kemuliaan Allah Swt. Seandainya seluruh manusia di dunia, taat beribadah kepada Allah Swt, juga tidak akan menambah kemuliaan Allah Swt, karena Allah Swt adalah maha mulia.
Manusia membutuhkan Allah Swt dalam semua kehidupannya. Secara fisik, manusia membutuhkan bumi tempat ia tinggal, membutuhkan binatang dan tumbuh-tumbuhan untuk makan, membutuhkan udara untuk bernafas, membutuhkan matahari untuk mempertahankan kehidupannya, dan banyak hal lagi yang lainnya.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Artinya: Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.
Tafsir dari ayat ini menurut Imam Jallaluddin Asy Syuyuthi dan Imam Jalallaludin Al Mahalli dalam Tafsir Jallain adalah : Wahai umat manusia, sungguh kalian membutuhkan Allah dalam segala hal. Hanya Allahlah yang Mahakaya dan tidak membutuhkan keberadaan ciptaan-Nya. Oleh karena itu, Dia berhak mendapatkan puja dan puji dalam segala situasi.
Pada saat manusia bersujud menyembah Allah Swt, tidaklah ada kepentingan Allah Swt disitu. Allah itu qiyamuhu binafsihi, berdiri sendiri, tidak membutuhkan selainnya. Kalau manusia beramal shaleh, amal shaleh itu untuknya. Manusialah yang akan menerima manfaat dari amal shalehnya itu.
Pada saat manusia mau bersyukur misalnya, maka manfaat bersyukur itu akan ada pada dirinya, pada saat itu juga! Dengan bersyukur manusia akan tentram hatinya. Dengan bersyukur akan Allah Swt akan menambahkan karunia padaNya. Sekali lagi bukan Allah yang membutuhkan syukur kita. Kitalah yang butuh bersyukur, karena ingin hati kita tentram, jiwa kita tenang, kebahagiaan bersemi, dan seterusnya. Dalam Surah An Naml ayat 40 Allah Swt berfirman:
وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
Artinya : Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.
Lantas, bagaimana kalau manusia ingkar akan nikmat Allah Swt, atau bahkan mengingkari kekuasaanya? Bukankah sekarang ini, atau mungkin sejak dahulu, banyak orang yang merasa bahwa apa yang diperolehnya adalah karena kerja kerasnya. Apa yang dicapainya, adalah karena usahanya belaka? Dalam Surah Ibrahim ayat 8 Allah Swt berfirman:
وَقَالَ مُوسَىٰ إِنْ تَكْفُرُوا أَنْتُمْ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya : Dan Musa berkata: “Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
Prof. Dr. Quraish Shihab menjelaskan tafsir ayat ini : Mûsâ berkata kepada kaumnya pada saat mereka ingkar dan membangkang, “Apabila kalian dan semua penduduk bumi mengingkari nikmat-nikmat Allah dan tidak mau bersyukur dengan keimanan dan ketaatan, maka hal itu tidak akan merugikan Allah sama sekali, karena Allah tidak membutuhkan kesyukuran manusia. Dia terpuji karena zat-Nya, dan tetap terpuji walau tidak ada seorang pun yang memuji-Nya.
Tentang hal ini, Allah Swt berfirman dalam sebuah hadist Qudtsi :
يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا
Artinya : “Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertaqwa seperti orang yang paling bertaqwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.” (HR. Muslim no. 2577)
Alhasil, semua yang kita lakukan sebenarnya adalah untuk kita. Namun, tetap saja, niat utama dari semuanya adalah lillahi ta’ala. Kita shalat karena Allah Swt, tetapi manfaat shalat adalah untuk kita. Kita bersedekah karena Allah Swt, tetapi manfaat dari bersedekah adalah untuk kita sendiri. Allah sama sekali tidak mengambil manfaat dari ibadah kita, tetapi kitalah yang mengambil manfaat dari ibadah kita itu sendiri, baik manfaat di dunia maupun di akhirat.