Al Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Di dalamnya terdapat materi utama yang terdiri dari akidah, ibadah dan muamalah, hukum, sejarah, akhlak, dan ilmu pengetahuan. Umat Islam memedomani al Qur’an sebagai sumber utama ajaran dan sumber dari segala sumber hukum yang ditetapkan.
Bagi manusia yang datang belakangan, ternyata sejarah merupakan sumber belajar yang sangat tepat. Allah Swt telah menceritakan banyak sejarah manusia terdahulu dalam al Qur’an sebagai pelajaran bagi kita yang hidup di zaman sekarang.
Sejarah manusia dalam al Qur’an sudah sangat lengkap. Semua persoalan dalam kehidupan manusia sekarang, dapat merujuk dan mencontoh bagaimana umat-umat terdahulu menyelesaikan persoalan. Termasuk di dalamnya juga pelajaran betapa bahayanya mengambil keputusan-keputusan yang keluar dari jalan kebenaran.
Ustadz Hannan Attaki, dalam sebuah podcast-nya menceritakan, bahwa hampir semua persoalan dalam kehidupan manusia ada contoh rujukannya. Itulah mengapa, salah satu ayat dalam Surah al Fatihah adalah sirathalladzina ‘an ‘amta alaihim, yang berarti jalan “orang-orang yang telah engkau beri nikmat”.
Seorang anak bisa saja menghadapi persoalan dengan orang tuanya. Ayah yang tidak beriman, penyembah berhala, dan mengusir nabi Ibrahim, dan bahkan akan merajamnya, karena tidak mau mengikuti ajakannya untuk menyembah berhala. Bagaimana sikap nabi Ibrahim? Tetap saja beliau santun, dan bahkan mendo’akan ayahnya:
Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. (QS Mariyam : 47)
Sebaliknya, seorang ayah bisa saja kecewa dengan anaknya. Sudah sejak lama ditanamkan keimanan, kedisiplinan, ketaatan pada Allah Swt, dan seterusnya. Namun, tetap saja, si anak menjadi orang fasik bahkan kafir.
Masalah ini pun, kita dapat berkaca pada kisah Nabi Nun As. Sembilan ratus tahun Nabi Nuh As berdakwah, baik kepada keluarga, masyarkat, maupun kaumnya. Di akhir kisah justru anak tersayangnya Kan’an, tetap saja menjadi anak yang durhaka. Menolak ajaran ayahnya dan bahkan menganggap ayahnya sebagai orang gila karena membuat perahu di atas gunung di tengah musim panas yang sangat panjang.
Sehingga, ketika datang banjir yang luar biasa, Kan’an pun tetap tidak mau ikut perahu ayahnya. Ia bersama sang ibu tetap berlari ke tempat yang tinggi, meskipun akhirnya tempat itupun terendam oleh air. Pada saat sang anak durhaka akan tenggalam, Nabi Nuh As berkata pada anaknya:
Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir”. (QS Hud : 42)
Meskipun Kan’an adalah anak yang durhaka, tetap saja Nabi Nuh As menyayangi anaknya. Sampai titik akhir pun, beliau tetap memanggil anaknya dengan sebutan kasih sayang, ya bunayya, wahai anakku tersayang.