Saat ini dakwah mengalami transformasi bentuk dan metodenya. Situasi dan kondisi memaksa dakwah harus dijalankan dengan berbagai strategi, sehingga ajakan kebaikan tetap dapat dilaksanakan. Kemajuan sain dan teknologi memberikan ladang dakwah baru yang memungkinkan seorang da’i memberikan pencerahan lewat saluran teknologi informasi. Sehingga pada saat ini, media sosial, website, dan platform penyedia video digital banyak digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Pada saat ini kita akan dengan sangat mudah tholabul ilmi, dengan menggunakan smartphone kita.
Namun demikian, saluran-saluran itu juga menyisakan masalah yang tidak kecil. Konten-konten yang diberikan ke masyarakat awam tidak lagi terkontrol dengan baik, sehingga masyarakat tidak bisa membedakan mana konten radikal atau moderat, mana yang diberikan dengan dasar keilmuan yang baik atau hanya berdasarkan terjemahan, mana yang berdasar pada pemahaman para ulama terdahulu atau hanya berdasarkan pemahaman sempit saja. Apalagi, menurut para ulama, ilmu itu harus bersanad. Sehingga materi yang dibahas ini jelas-jelas berdasarkan pemahaman ulama yang memiliki kapasitas keilmuan yang dapat dipercaya.
Sebab, mudahnya mencari akses ilmu saat ini, memunculkan “ustadz-ustadz” yang agak ceroboh, sehingga memunculkan kontradiksi dengan pemahaman umum para ulama yang memiliki ilmu yang qualified. Ternyata jika dibaca secara detil, kontradiksi itu muncul bukan karena sumber pengambilan hukumnya yang berbeda, tetapi karena pemahaman yang salah terhadap makna nash yang dipakai.
Misalnya, persoalan yang muncul ketika seorang “ustadz gaul” menyebutkan bahwa semua orang di dunia, termasuk Nabi Muhammad Saw, pernah menjadi orang yang sesat. Menurutnya, hal ini berdasarkan tafsir Surat Ad Dhuha ayat 7 :
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ
Yang artinya, ” Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk”. Sementara, ustadz tersebut memakani dengan kalimat “Dan Dia mendapatimu sebagai orang yang “sesat” lalu dia memberikan petunjuk, tanpa melihat bagaimana asbab an nuzul dari ayat itu, dan tanpa mengetahui bagaiaman tafsir dari ayat tersebut menurut para ulama ahli tafsir.
Padahal, menurut Imam Jalaluddin al Mahalli dan Imam Jalaluddin As Suyuthi dalam tafsir Jalalain, makna ayat tersebut adalah “(Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung) mengenai syariat yang harus kamu jalankan (lalu Dia memberi petunjuk) Dia menunjukimu kepadanya”. Sementara menurut Prof. Dr. Quraish Shihab tafsir ayat itu adalah “Bukankah Dia mendapatimu dalam keadaan bingung, tidak ada satu kepercayaan pun di sekitarmu yang dapat memberimu kepuasan, kemudian Dia memberimu petunjuk kepada jalan kebenaran?”
Contoh lain adalah ketika ada seorang ustadz yang menafsirkan Surah Fatir ayat 28 :
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Yang artinya : “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
Menurut seorang dai, sebut Ustadz GN, ayat tersebut berarti : “Dan diantara manusia, dan diantara binatang, baik melata apapun jenisnya, siapa yang takut kepada-Ku maka dia ulama”. Lanjut beliau, “berarti ulama menurut Allah bisa ular, bisa ayam, bisa kambing, bisa manusia, yang penting takut kepada Allah. Bahkan gunung, karena takut kepada Allah maka dia ulama, dst….”
Padahal dalam tafsir Jallain, makna ayat ini adalah : “(Dan demikian pula di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya) sebagaimana beraneka ragamnya buah-buahan dan gunung-gunung. (Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama) berbeda halnya dengan orang-orang yang jahil seperti orang-orang kafir Mekah. (Sesungguhnya Allah Maha Perkasa) di dalam kerajaan-Nya (lagi Maha Pengampun) terhadap dosa hamba-hamba-Nya yang mukmin”.
Sementara itu, menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, tafsir ayat di atas adalah : “Demikian pula di antara manusia, binatang melata, unta, sapi dan domba terdapat bermacam-macam bentuk, ukuran dan warnanya pula. Hanya para ilmuwan yang mengetahui rahasia penciptaanlah yang dapat mencermati hasil ciptaan yang mengagumkan ini dan membuat mereka tunduk kepada Sang Pencipta. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa yang ditakuti orang-orang Mukmin, Maha Pengampun segala dosa siapa pun yang berserah diri kepada-Nya.
Setelah memaparkan bahwa berbagai jenis buah-buahan dan perbedaan warna pegunungan itu berasal dari suatu unsur yang sama–yakni, buah-buahan berasal dari air dan gunung-gunung berasal dari magma, ayat ini pun menyitir bahwa perbedaan bentuk dan warna yang ada pada manusia, binatang-binatang melata dan hewan-hewan ternak tidak tampak dari sperma-sperma yang menjadi cikal bakalnya.
Bahkan sekiranya kita menggunakan alat pembesar sekali pun, sperma-sperma tersebut tampak tidak berbeda. Di sinilah sebenarnya letak rahasia dan misteri gen dan plasma. Ayat ini pun mengisyaratkan bahwa faktor genetislah yang menjadikan tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia tetap memiliki ciri khasnya dan tidak berubah hanya disebabkan oleh habitat dan makanannya. Maka sungguh benar jika ayat ini menyatakan bahwa para ilmuwan yang menetahui rahasia-rahasia penciptaan sebagai sekelompok manusia yang paling takut kepada Allah”.
Ulama-ulama ahli tafsir, mendapatkan status nya, dengan modal keilmuan yang mumpuni. Ada belasan jenis ilmu yang harus dikuasai, baru mendapatkan status sebagai ahli tafsir itu. Sementara ustadz-ustadz baru hanya bermodal ghiroh yang kuat, kemampuan public speaking, punya akun medsos dengan followers yang banyak, sudah bisa menyalahkan ulama-ulama yang menghabiskan puluhan tahun mengkhususkan diri mendalami ilmu. Dan anehnya, pengikutnya juga banyak.
Kondisi diatas tentu tidak bisa dibiarkan. Para ahli ilmu zaman ini harus segera”turun gunung”memberikan pencerahan. Ilmu-ilmu ber-sanad harus segera disampaikan dengan wasilah teknologi informasi yang mumpuni. Agar pemahaman masyarakat tentang Islam tidak lagi ngawur dan menyebar acak tanpa kendali.