Maret bulan depan tepat satu tahun anak-anak kita belajar dari rumah. Pandemi Covid 19 memaksa pemerintah menerapkan aktivitas belajar dari rumah sebagai pilihan. Semula diperkirakan awal tahun 2021 kita sudah bisa kembali belajar tatap muka, meskipun hanya dengan kapasitas 50%. Namun realitasnya, sampai pertengahan Pebruari 2021 ini tidak ada tanda-tanda kita dapat segera belajar tatap muka lagi.
Tentu saja belajar dari rumah menyisakan banyak persoalan. Kebiasaan baru, apapun itu, selalu menimbulkan persoalan-persoalan baru yang harus diadaptasi. Orang tua menjadi guru, guru tanpa bertemu siswa, dan siswa belajar tanpa guru.
Persoalan yang paling banyak dihadapi orang tua adalah kemampuannya mengajar anaknya sendiri. Orang tua dengan segala kelebihannya tetap saja tidak memeliki kebiasaan mengajar anaknya. Para orang tua yang berprofesi guru masih diuntungkan dalam hal ini, meskipun ternayata mengajar anak orang lain adalah berbede dengan mengajar anaknya sendiri.
Anak-orang dengan orang tua yang bekerja sebagai tenaga medis memiliki persoalannya sendiri. Kita tahu, paparan virus tidak serta merta dapat dihalau oleh para tenaga medis dengan mudah. Mereka tetap harus berjibaku untuk menjaga dirinya terjauh dari virus yang hampir setiap hari mereka temui bersama pasien-pasien Covid 19 yang mereka tangani.
Generasi online
Setelah hampir setahun belajar dengan cara online, anak-anak kita semakin terbiasa melakukan banyak hal secara online. Pertama, buku bukan lagi satu-satunya sumber belajar yang mereka gunakan untuk belajar. Dunia maya dengan begitu banyak kemudahan dan keluasan ilmu yang tersedia, lebih banyak menjadi pilihan sebagai sumber mengerjakan berbagai tugas yang diberikan guru. Mereka cukup menuliskan kata kunci di browser mereka, maka laptop dan smarphone secepatnya menyediakan banyak opsi jawaban yang mereka butuhkan.
Kedua, belanja online menjadi lebih menarik. Untuk mendapatkan makan malam kita dan anak-anak kita tidak perlu lagi ke luar rumah. Mereka cukup rebahan di depan TV, memesan makanan lewat aplikasi, dan setengah jam kemudian makanan diantar oleh kurir, dan selesai. Sesaat berikutnya mereka sudah dapat menikmati makan malam bersama keluarga di rumah.
Ketiga, berjualan online. Tidak hanya belanja, ternyata banyak anak usia SMP dan SMA yang sudah mampu masuk ke marketplace. Mereka menawarkan produk-produk kreatif, baik hasil karya sendiri maupun orang lain, secara online di banyak media massa. Beberapa anak penggemar ikan hias misalnya, menawarkan ikan hias hasil budidaya mereka ke dunia maya. Tidak sedikit “anak-anak petani” yang dulu hanya membantu ayahnya memberi makan ikan dan mengganti air kolam, kini menjadi produsen-produsen ikan ikan air tawar dengan hasil yang menggiurkan.
Sementara seiring boomingnya tanaman hias, gadis-gadis muda pun ikut beraksi. Tanaman hias budidaya mereka dengan ibu-ibu mereka juga menghiasi perdagangan online meskipun hanya berskala lokal. Paling tidak, hal ini merupakan salah satu wahana untuk menguatkan kompetensi enterpreunership mereka.
Keempat, aktivitas sosial secara online. Di dalam genggaman generasi muda sekarang, hampir semua kegiatan sosial dapat diselenggarakan secara online. Rapat-rapat organisasi, pentas seni, talk show, dan lain-lain banyak bermunculan dalam bentuk virtual. Kegiatan-kegiatan yang dulu hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pertelevisian, saat ini sudah dapat dilakukan oleh anak-anak muda kita dengan alat seadanya. Kegiatan semacam seminar online dapat ditayangkan secara live streaming hanya dengan bermodal smarphone dan laptop saja.
Meskipun kita mendapatkan banyak persoalan di masa Pandemi, namun banyak pula hal positif yang dapat kita petik sebagai bagian tidak terpisahkan darinya. Peningkatan kompetensi di bidang teknologi informasi merupakan satu hal yang meningkat secara tajam. Semoga satu atau dua tahun mendatang kita sudah memiliki “generasi online” yang siap bertarung di dunia digial di masa mendatang.