Mau tidak mau, semua komponen yang terlibat dalam dunia pendidikan, baik guru, kepala sekolah, tenanga kependidikan, konsultan, dan siapa saja yang bekerja di dunia pendidikan, harus bersiap dengan tatanan baru. Pembelajaran saat ini, apalagi masa depan, tidak bisa lagi dilaksanakan dengan “cara-cara” lama dan konservatif. Inovasi dan kreasi pembelajaran tidak lagi berkutat pada metode, pendekatan, dan model pembelajaran, tapi juga bagaimana dapat melayani siswa-siswa masa depan yang paling tidak sudah akrab dengan teknologi informasi.
Saat ini, hampir semua sekolah menerapkan blended learning. Blended learning adalah sebuah metode pembelajaran yang dilakukan dengan cara menggabungkan, mencampurkan, mengombinasikan sistem pendidikan konvensional dengan sistem pendidikan berbasis digital.
Sekolah-sekolah dianjurkan menerapkan pembelajaran daring dengan mengunakan media smarphone memanfaatkan media komunikasi seperti aplikasi whatsapp. Seharusnya aplikasi ini bukanlah satu-satunya, karena masih ada yang lain seperti kaizala, telegram, dan lain-lain. Sementara guru-guru milenial menggunakan media berbasis video conference seperti zoom, google teams, dan sebagainya.
Pembelajaran luring tetap juga harus dilakukan mengingat salah satu pengikat emosi siswa adalah dengan mendatangi sekolah dan bertemu guru meskipun harus bersama orang tua untuk siswa sekolah dasar ke bawah. Mereka tetap bisa “tilik” sekolah mereka, meskipun hanya sekedar mengambil tugas tertulis, dan seminggu kemudian menyerahkan hasil kerja mereka secara tertulis juga.
Hilangnya Ruh Pendidikan
Salah satu yang sangat dikhawatirkan dengan pembelajaran tanpa tatap muka adalah hilangnya “ruh pendidikan”. Sebagaimana kita sadari bahwa pendidikan bukan hanya pembelajaran. Sementara yang dapat kita lakukan selama masa pandemi ini hanyalah pembelajaran. Penguatan karakter, motivasi, dan transfer nilai dari seorang murobbi kepada para siswa hampir terputus sama sekali.
Di sekolah-sekolah Islam, masih ada pengecekan aktivitas ibadah siswa seperti pelaksanaan shalat wajib, shalat sunnah, membaca al Qur’an, dan sebagainya yang dilakukan dengan memberikan buku kontrol kegiatan peribadatan siswa di rumah. Namun demikian, apakah pelaksanaannya didukung dengan sepenuhnya oleh orang tua, masih masih memerlukan penelitian yang lebih spesifik.
Orang tua dengan segala kesibukannya tidak memiliki waktu yang cukup untuk memantau apakah program-program sekolah dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sementara para pendidik hanya mengandalkan laporan tertulis yang bisa jadi juga tidak menunjukkan realitas kegiatan siswa seratus persen.
Pengecekan dilaksanakan dalam upaya untuk menjamin program-program pembiasaan tetap dapat dilakukan. Namun situasi di sekolah dan di rumah tentu saja berbeda. Ketika di sekolah, para pendidik dapat mengontrol pelaksanaan pembiasaan yang telah diprogramkan, namun ketika di rumah, hubungan orang tua dan siswa yang sangat dekat, justru dapat menghambat kedisiplinan siswa dalam menerapkan program pembiasaan yang dilaksanakan.
Pada kondisi normal, anak-anak akan segera menuju sekolah dan mengikuti agenda pembiasaan pagi setelah sarapan. Namun demikian pada saat sekarang ini, dimana anak-anak sarapan sambil menonton TV, durasi sarapan menjadi semakin lama. Dan setelahnya, anak akan sibuk dengan acara nonton kartun, bermain game, atau “janjian” dengan teman-teman di sekitar rumah untuk bermain. Sementara orang tua harus berbagai perhatian dengan jam kerja atau pekerjaan rumah yang sudah menunggu. Alhasil, banyak persoalan tentang penanaman disiplin, pembiasaan, penguatan karakter, dan pendidikan keagamaan yang “sulit” didisiplinkan ketika anak-anak berada di rumah. Paling tidak, itulah yang banyak dikeluh kan orang tua kepada guru, setelah hampir satu tahun anak-anak belajar dari rumah (BDR).
Pendidikan di Masa Depan
Pendidikan di masa depan, sangat dimungkinkan mirip-mirip dengan pendidikan yang kita laksanakan di masa pandemi ini. Meskipun mungkin nantinya potensi persebaran virus corona menurun manfaat dari adanya vaksinasi, protokol pencegahan paparan tetap harus dilaksanakan. Dengan demikian, pendidikan tetap akan dilaksanakan menggunakan blended learning, dengan modifikasi implementasi yang ditentukan kemudian.
Kebijakan merdeka belajar, dimana sekolah sangat mungkin melakukan variasi pembelajaran, sangat memungkinkan kita untuk meskemakan pembelajaran yang lebih baik. Beberapa hal yang dapat divariasikan antara lain:
- Digitalisai pembelajaran harus semakin ditingkatkan, tidak hanya terbatas pada penggunan media sosial tetapi harus bisa lebih baik seperti menggunakan aplikasi e-learning berbasis android. Dalam hal ini harus dipastikan bahwa transfer of knowledge and technology dapat dilakukan oleh para pendidik pada masa yang sama. Sekaligus memastikan, paling tidak melalui digitalisasi yang diperkuat ini, urusan tranfer ilmu pengetahuan baik literasi membaca ataupun literasi numerasi, sudah dianggap cukup, meskipun tanpa tatap muka. Paling tidak, sebagian besar peran ini sudah selesai. Sekolah-sekolah juga harus menyiapkan pembelajaran berbasis digital dimana ketika harus belajar di sekolah pun, pembelajaran dapat dilakukan dengan cepat, canggih, dan berbasis dokument dan penugasan digital.
- Setelah transfer pengetahuan dianggap cukup dengan menggunakan pembelajaran berbasis digital, maka pembelajaran tatap muka dapat digunakan pendidik untuk transfer of value. Artinya, pendidikan karakter di sekolah harus ditekankan, pembiasaan-pembiasaan ibadah dikuatkan, kedisplinan ditingkatkan, dan nilai-nilai karakter lainnya harus menjadi perhatian sekolah untuk dikembangkan. Maka kegiatan yang ada disekolah adalah penguatan karakter dan penyelesaian persoalan-persolan materi pelajaran yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh para siswa di rumah.
- Para pendidik harus dapat meng-upgrade kompetensi IT nya sehingga dapat berkembang dengan cepat menyesuaikan “permintaan pasar” yaitu digititalisasi pendidikan yang semakin dominan. Jika tidak, persoalan-persoalan teknis akan menjadi kendala dan sekolah akan semakin ditinggalkan.
- Pemerintah telah membuat program “Merdeka Belajar” sehingga sekolah dapat menyesuaiakan kurikulum yang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah namun tetap harus mempertimbangkan kebutuhan siswa ketika mereka melanjutkan sekolah, dan kepentingan penjaminan mutu sekolah. Penyesuaian kurikulum yang asal-asalan, tentu akan berakibat buruk bagi kualitas sekolah.
Kelas masa depan yang akan dihadapi oleh para pendidik adalah kelas-kelas dengan dominasi peran digital sehingga transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dapat tercukupi dengan digitalisasi. Peran kegiatan tatap muka di sekolah lebih baik difokuskan pada penguatan karakter keagamaan, kedisiplinan, peningkatan kompetensi kolaborasi, dan penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi siswa baik berkaitan dengan materi pembelajaran maupun kendala dalam melaksanakan pembelajaran di rumah. (ans)
Ini tulisan berkelas pak….