Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu penentu keberhasilan sekolah dalam meraih visinya. Kepala sekolah merupakan nahkoda yang mengendalikan dan mengarahkan serta menentukan cepat atau lambatnya laju kapal besar yang bernama sekolah. Kreativitas dan progressivitas kepala sekolah sangat menentukan, apakah sekolah dalam waktu dekat dapat meraih cita-citanya, ataukah sebaliknya justru stagnan atau bias dengan arah yang mau dituju.
Iklim pelaksanaan pembelajaran, sebagai kegiatan utama di sekolah, selalu dinamis dan mengalami perubahan serta penyesuaian. Situasi politik, sosial, dan ekonomi dalam skala nasional dan daerah sangat mempengaruhi situasi dan kondisi sekolah. Kebijakan pemerintah yang dinamis, mungkin dalam makna berubah-berubah, memaksa kepala sekolah untuk juga menerapkan manajemen progresif dalam menjalankan laju manajemen sekolah. Jika tidak, akan terjadi kontradiksi antara kondisi ideal dengan kondisi riil yang dihadapi.
Munculnya situasi darurat karena Pandemi C19, menuntut kepala sekolah berpikir keras menyiapkan manajemen pembelajaran yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi. Kepala sekolah tidak boleh mencukupkan diri hanya dengan pasrah bongkok-an kepada guru atau wali kelas, untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran daring, sebenarnya lebih tepat disebut pembelajaran jarak jauh pada tingkat sekolah dasar ke bawah. Kepala sekolah harus bisa memberikan arah yang jelas kepada semua guru, sekaligus membantu guru menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul sebagai akibat dilaksanakannya pembelajaran “model baru” sebagai dampak adanya Pandemi C19. Apalagi, pembelajaran daring yang dilaksanakan di masa ini, sangat tergantung kerjasama yang baik antara guru, siswa, dan orang tua.
Permasalahan yang sering muncul dalam pelaksanaan pembelajaran daring antara lain dapat diklasifikasikan dalam permasalahan yang berkaitan dengan guru, siswa, dan orang tua. Permasalahan yang berkaitan dengan guru misalnya masalah yang berkaitan dengan penguasaan teknologi informasi. Jika ada pertanyaan apakah semua guru telah akrab dengan smarphone dan dapat menggunakannnya, maka jawabannya adalah “iya”. Paling tidak hal itu sesuai dengan situasi dan kondisi di Jawa, khususnya di daerah perkotaan. Tetapi, jika pertanyaannya dilanjutkan dengan apakah semua guru dapat menggunakan semua fasilitas yang ada smarphone nya itu, maka jawabnya tentu “belum”. Sehingga, pembelajaran dengan fasilitas teknologi informasi, tentu tidak serta merta bermodal kemampuan guru yang sangat mumpuni di bidang IT. Alhasil, selama dua atau tiga bulan para siswa belajar di rumah, guru hanya mendasarkan pembelajarannya pada penggunaan aplikasi whatsapp saja, bukan implementasi IT secara menyeluruh.
Dari sisi siswa, dalam konteks anak-anak sekarang khususnya, penguasaan IT dalam arti smartphone oleh siswa tentu sudah tidak diragukan lagi. Ketrampilan menggunakan HP siswa bisa jadi lebih cepat daripada gurunya. Siswa kelas satu sekolah dasar, sudah banyak yang mahir dalam menggunakan HP dibanding gurunya. Apalagi siswa kelas atasnya. Tetapi dalam konteks apa? Ya khsususnya dalam hal bermain online game atau aplikasi animasi serta aplikasi ala anak-anak lainnya. Tetapi paling tidak, hal ini akan mempermudah guru dalam melaksanakan pembelajaran daring, dengan “modal” keakraban anak dengan smartphone ini.
Selanjutnya, dari sisi orang tua, dimana selama belajar di rumah sebagian orang tua tidak bisa berada di rumah, atau tidak semua orang tua bisa mendampingi anaknya, tentu membiarkan anak belajar sendiri dengan menggunakan smartphone, juga merupakan pilihan yang meragukan. Betapa tidak, ketika orang tua membiarkan anaknya sendirian bermaian HP dalam rangka pembelajaran daring, mereka juga tidak dapat menjamin jika anaknya hanya belajar saja, bukannya bermain atau membuka content lain yang sebagian tidak tepat untuk diakses anak-anak.
Belum lagi, kepedulian orang tua terhadap tugas di rumah tentu sangat beragam. Tidak semua ibu “sabar” menjadi guru dari anak-anaknya. Apalagi bapak, bisa jadi juga “lebih tidak sabar” mengajari anak-anaknya. Sehingga, persoalan banyak muncul pada keluarga dimana ayah atau ibunya tidak berada di rumah, seperti orang tua yang menjadi TKI atau TKW, bekerja di luar kota, pekerja medis yang terpaksa meninggalkan keluarganya, dan sebagainya. Belum lagi, persoalan-persoalan latar belakang pendidikan orang tua, yang juga sangat beragam.
Berdasarkan kondisi-kondisi sebagaimana diuraikan di atas, guru tentu akan menghadapi banyak persoalan dalam melaksanakan tugas mendampingi anak-anak learning from home. Kepala sekolah sebagai supervisor para guru harus menyiapkan strategi yang tepat untuk membantu guru menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi. Adalah merisaukan jika para guru menyelesaikan persoalannya sendiri, dengan tanpa berdiskusi dengan para guru lainnya atau dengan kepala sekolah, karena bisa kontraproduktif terhadap upaya membangunan citra sekolah. (ans)