Diakui atau tidak, selama kurang lebih tiga bulan, anak-anak sekolah tidak memiliki “pekerjaan pasti”. Pembelajaran yang daring yang dilakukan guru tidak cukup efektif untuk menggantikan waktu belajar mereka di hari normal. Tugas-tugas yang diberikan guru cukup ringan sehingga cukup dilakukan dalam waktu kurang dari 20% dibandingkan ketika mereka berada disekolah. Sisa waktunya dihabiskan untuk menonton TV atau bermain game. Apalagi, kumpul-kumpul dengan teman juga harus dihindari karena berpotensi penyebaran Covid 19.
Sementara tidak semua orang cukup waktu untuk mendampingi anak dengan durasi yang sama dengan ketika mereka bersama bapak ibu guru mereka. Hal ini sangat wajar karena orang tua juga harus tetap bekerja agar kehidupan ekonomi keluarga tetap berjalan sebagaimana mestinya. Sementara siaran TV pembelajaran digital hanya berkisar 60 menit untuk satu kelompok usia siswa. Sehingga tetap saja belum dapat mencukupi untuk dapat menggantikan waktu belajar di saat normal.
Pemerintah juga tidak memiliki pilihan lahin selain “merumahkan” anak-anak. Resiko penyebaran Covid 19 masih sangat besar dan riskan serta dihantui kemunculan cluster baru di sekolah. Sementara dimasyarakat muncul dua kubu pemikiran, yang juga merupakan turunan kubu pemikiran dari para ahli, yaitu yang sangat mengkhawatirkan kebahayaan virus ini dan kubu lain yang menganggap virus ini tidak sangat berbahaya dibandingkan dengan virus-virus lainnya. Alhasil, perdebatan dan perbedaan di tingkat bawah pun menyeruak. Satu kelompok mendukung seratus persen kebijakan pemerintah, sementara satu kelompok lainnya mengabaikan bahkan menolaknya dengan terang-terangan.
Yang jelas, apapun yang terjadi, para guru akan menghadapi akan menghadapi persoalan yang cukup pelik dua atau tiga bulan ke depan. “Istirahat” dari kegiatan sekolah yang dimulai dari pertengahan Maret dan dilanjutkan bulan April, Mei, Juni, dan mungkin nanti sampai September, atau Oktber, bahkan bisa jadi sampai akhir tahun 2020, merupakan persoalan baru yang mungkin sekali akan muncul pada psikologis anak. Dalam jangka waktu yang lama tanpa kegiatan belajar yang memadai, tentu akan memunculkan “kebiasaan” baru pada anak. Sementara kita tidak yakin lagi, apakah pembiasaan-pembiasaan yang sudah diinisiasi sekolah dapat dijalankan dengan baik atau tidak.
Paling tidak, kebiasaan tidak belajar akan menjadi kebiasaan yang akan memunculkan persoalan baru. Dalam hal yang sama, kebiasaan “tidak mengajar” secara tatap muka, bisa jadi juga akan menjadi hal baru yang perlu diadaptasikan oleh para guru nantinya. Kedisiplinan para siswa dalam mengikuti pembelajaran akan mendapatkan pertentangan dengan kebiasaan siswa yang tidak belajar. Budaya konsistensi belajar lima sampai enam jam sehari akan runtuh dengan sendirinya pada saat siswa tetap berada di rumah.
Oleh karena itu, perlu persiapan-persiapan dan strategi yang khusus, agar para guru dapat melaksanakan pembelajaran tatap muka nantinya. Masa orientasi kembali harus dilakukan, meskipun pada siswa yang “tidak baru”. Mengapa, karena mereka memerlukan perubahan yang landai, dari kondisi tidak belajar tatap muka, menjadi kembali belajar dengan tatap muka. Mereka memerlukan waktu adaptasi lagi, meskipun mereka masih berada di sekolah yang sama. Orientasi pasca pandemi dapat disiapkan untuk merangkai kembali motivasi belajar siswa yang mungkin selama mereka learning from home, luntur oleh aktivitas di luar sekolah mereka. (ans)