Pelajaran matematika sering menjadi momok. Belum belajar para siswa sering mengatakan : “Waduh, saatnya matik…”. Para siswa seperti trauma terhadap pelajaran yang dianggap paling sulit, rumit, dan membutuhkan kecerdasan yang tinggi. Apalagi, guru matematika seringkali identik dengan guru yang killer. Sehingga “ketakutan” anak-anak terhadap matematika pun semakin menjadi. Padahal seharusnya, belajar matematika tidak harus tegang, serius, atau kaku. Matematika adalah ilmu pasti yang jika guru mampu berkreasi dapat mengajarkannya dengan cara yang lebih sederhana, mudah dipahami, bahkan menyenangkan.
Sebelum mengajarkan matematika, guru harus bisa meyakinkan para siswa bahwa matematika itu mudah dan menyenangkan. Hal itu merupakan PR para guru matematika, agar sejak awal sugesti siswa dapat terbangun dengan positif. Ketika hal itu terjadi, pembelajaran matematika akan lebih nyaman dilaksanakan. Sebaliknya, jika ketakutan pada matematika tetap “terpelihara” maka para guru sudah mendapatkan tugas berat bahkan sebelum mengajarkan pelajaran yang selalu berkaitan dengan angka itu.
Aulia Burhanudin, menjelaskan beberapa langkah yang harus dilakukan oleh guru agar matematika itu menyenangkan, antara lain:
Pertama, pelajarilah matematika bab demi bab. Dalam hal ini, guru harus memastikan bahwa siswa sudah memahami bab tersebut dengan baik sebelum masuk ke tahapan berikutnya. Selain itu, pada setiap materi, guru harus menyertakan contohnya. Termasuk, contoh variasi penyelesaian soal yang di sampaikan.
Kedua, guru harus memahami benar materi yang dipelajari. Guru yang hanya memahami sebagian materi, atau mamahami materi yang disampaikan tidak secara utuh, akan membuat siswa kesulitan memahami materi. Dalam artian, guru harus benar-benar paham, baru ia dapat menjelaskan materi tersebut dengan sebaik-baiknya. Beberapa guru tidak memahami materi dengan baik, sehingga penjelasannya justru tidak membuat siswa paham akan materinya.
Ketiga, menggunakan metode pembelajaran yang rileks. Guru tidak perlu bersikap kaku dan tegang, karena hal itu justru akan membuat siswa stres. Penggunaan contoh-contoh yang sederhana dan berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari akan jauh lebih mudah dipahami siswa. Intinya, usahakan pembelajaran dilaksanakan dalam nuansa konkrit, bukan bersifat abstrak.
Keempat, jangan mentargetkan nilai. Yang terpenting adalah siswa memahami materi dengan baik, maka otomatis mereka akan mendapatkan nilai yang baik dikemudian hari. Artinya, pembelajaran harus step by step, tidak perlu mentargetkan pencapaian yang tinggi, karena hal itu justru akan menghalangi tercapainya target yang telah ditetapkan.
Kelima, jangan membandingkan seorang siswa dengan siswa lainnya. Mengapa, ketika seorang anak dibandingkan dengan anak yang lainnya, ia akan kecil hati (down) sehingga semangatnya akan pupus, sebelum ia sempat meningkatkan motivasinya.
Sebenarnya, matematika dapat juga diajarkan sambil bermain. Mengajarkan perkalian misalnya. Guru dapat meminta anak berkelompok. Kemudian menghitung berapa jumlah kelompok yang ada. Dengan begitu guru sudah dapat mengajarkan perkalian, yaitu anggota kelompok dikalikan jumlah kelompok yang terbentuk. Itulah perkalian.
Demikian juga dengan pembagian. Guru dapat membawa anak ke halaman sekolah. Seluruh anak diminta berkumpul di lapangan. Kemudian semua siswa dibagi menjadi beberapa kelompok. Berapa anak dalam setiap kelompok itu? Itulah jawaban pembagian seluruh siswa dibagi jumlah kelompok, hasilnya adalah anggot kelompok.
Contoh-contoh di atas merupakan upaya menyederhanakan matematika, sekaligus menunjukkan bahwa matematika tidak selalu merupakan pelajaran yang menakutkan. Matematika juga dapat diajarkan dengan bermain di luar kelas. Matematika itu menyenangkan!
Cintailah dan sayangilah pelajarnya
Hormati guru nya
Ben menyenangkan dan asyik…
Ayo berhitung
Mantab…