Sudah jadi kebiasaan orang Jawa, jika akan mengerjakan pekerjaan yang berat atau menghadapi sesuatu yang “besar” selalu mengedepankan do’a. Oleh karena itu, setiap akan mengerjakan sesuatu, setiap akan mengadakan sesuatu, atau setiap menerima nikmat yang besar, akan diawali dan diiringi dengan do’a. Tidak saja do’a, biasanya juga diiringi dengan bersedekah, yang diberikan kepada tetangga, keluarga, dan kerabat.
Jika dirunut dari awal, sejak manusia masih di dalam kandungan ibundanya, do’a dan sedekah selalu dilaksanakan. Ketika ibu-ibu hamil 3 “lapan” (36 hari), keluarga mengadakan “telonan”. Ketika sudah mencapai tujuh “lapan”, akan ada acara “tingkeban”. Pada saat hari H jabang bayi dilahirkan ada brokohan. Ketika bayi berusia 3 “lapan”, ada telonan juga, yang diteruskan pitonan, setaunan, pada saat mau khitan, mau nikah, dan seterusnya. Sampai sudah meninggalkan senantiasa diiringi dengan do’a dan sedekah.
Demikian juga ketika akan menghadapi pekerjaan-pekerjaan besar, seperti ketika anak mau ujian, mau mengikuti ujian sekolah atau ujian untuk menduduki suatu pekerjaan, mau berangkat haji, dan sebagainya. Termasuk diantara hal yang dianggap istimewa dan besar, sehingga perlu diawali dengan do’a dan sedekah, adalah datangnya bulan Ramadhan.
Bagi muslim Jawa, bulan Ramadhan adalah bulan yang istimewa dan harus mendapatkan perlakuan khusus. Menjalankan puasa satu bulan penuh juga bukan hal yang ringan. Jika tanpa pertolongan dan ridlo Allah Swt, bisa saja ibadah puasa yang dijalankan tidak berhasil. Oleh karena itu, dalam menghadapi puasa Ramadhan, perlu do’a dan sedekah khusus yang kemudian disebut “megengan”.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang dinantikan setiap muslim. Di bulan ini pintu rahmat dan maghfirah dibuka lebar-lebar oleh Allah Swt. Semua amal dilipatgandakan pahalanya, rahmat dan kasih sayang Allah Swt ditebarkan ke seluruh dunia. Hati-hati yang tertutup banyak yang dibuka, gairah untuk melakukan ibadah menyala-nyala. Bukankah hal ini merupakan hal besar yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya? Bukankah umat Islam sangat patut bila menyiapkan diri secara khusus untuk menyambutnya? Bukankah kita patut merasa sangat gembira dengan datangnya sayyidusuhur itu?
Megengangan bukan “ibadah baru”, apalagi menambah syariat baru. Ia hanya kearifan lokal untuk mengejawantahkan do’a dan sedekah. Jika tidak melaksanakan “megengan” pun tidak dosa. Sehingga aneh, jika ada yang menganggap megengan sebagai ibadah baru. Yang jelas, megengan diniatkan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan dengan berdo’a dan bersedekah, agar Allah Swt memberikan kemudahan menjalankan ibadah puasa. Apalagi, dengan saling mengundang, silaturrahim antar tetatngga pun tercipta. Sehingga, keguyuban dapat tercipta di lingkungan.
Paling tidak, kita patut menelaah ucapan orang-orang yang “ngajatne” megengan. Di dalam ucapan-ucapan beliau selalu tertera bahwa nasi, lauk pauk, dan makanan lain yang sebenarnya simbolisasi do’a-do’a, semuanya ditujukan sebagai penghormatan kepada Nabi Muhammad, para keluarga, para sahabat, dan orang-orang sholeh. Didalamnya juga ada permintaan mudah-mudahan dengan sedekah yang diberikan, keluarga senantiasa diberikan kesehatan lahir dan batin, kekuatan iman dan Islam, sehingga dapat menjalankan ibadah puasa dengan sempurna tanpa ada halangan suatu apa.
Kritik untuk “Megengan”
Dalam konteks niat dan kegiatannya, “megengan” memang luar biasa. Tetapi, kita juga perlu menelaah dan mengkritisi megengan dalam konteks yang lain.
Biasanya megengan dilakukan pada waktu yang hampir bersamaan. Setiap keluarga melaksanakan, saling mengundang, saling berkirim makanan, dan yang berikutnya terjadi adalah “udan berkat”. Makanan menumpuk tidak termakan, dengan model dan komposisi yang mirip, yaitu: nasi, sambal goreng, serundeng, apem, ketan, dan ayam. Sehingga, untuk mengkonsumsinya pun kadang-kadang agak bosen.
Alhasil, “berkat”nya terabaikan. Hanya diperuntukan makanan ayam, dikeringkan untuk menjadi nasi aking, atau dibuang begitu saja. Disinilah kita harus berhati-hati. Dalam artian, aktivitas “pasca genduren” pun harus benar-benar diperhitungkan agar tidak menjadi mubadzir.
Kayaknya, sudah saatnya memformulasikan megengan dengan inovasi, seperti: sedekah dalam bentuk buah-buahan, sembako, atau bahkan uang. Dengan tujuan, agar sisi kemanfaatannya dapat lebih ditingkatkan. Apalagi, jika bisa diformulasikan dengan megengan bersama dalam satu tempat, “berkat” dibuat secukupnya, sisa uang untuk kegiatan mushola, masjid, atau madrasah. Mungkin akan lebih “sempulur” kebaikannya! (ans)