Oleh : Mohamad Ansori
Perbedaan dan keragaman dalam segala aspek kehidupan adalah sesuatu yang wajar. Keindahan bumi dan isinya wujud karena adanya perbedaan. Indahnya fajar karena adanya pergantian siang dan malam, indahnya pelangi karena ada keragaman warna, indahnya hidup karena adanya orang lain yang berbeda dengan kita. Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari perbedaan dan keragaman, karena hal itu merupakan kehendak Allah Swt.
Dalam Surat Al Hujurat ayat 13 Allah Swt berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, tafsir ayat di atas adalah : Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dalam keadaan sama, dari satu asal: Adam dan Hawâ’. Lalu kalian Kami jadikan, dengan keturunan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal dan saling menolong. Sesungguhnya orang yang paling mulia derajatnya di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Allah sungguh Maha Mengetahui segala sesuatu dan Maha Mengenal, yang tiada suatu rahasia pun tersembunyi bagi-Nya.
Meskipun manusia terdiri dari suku-suku dan bangsa-bangsa yang berbeda, namun semua berasal dari satu kakek yang sama yaitu Nabi Adam A.S. Dengan demikian, sudah sepatutnya setiap manusia, merasakan persaudaraan sesama manusia, dengan manusia yang lain. Meskipun, bisa jadi, warna kulit, bahasa, bentuk, ukuran, kebiasaan, bahkan agamanya berbeda, tetap saja sebagai manusia memiliki persamaan yaitu sama-sama sebagai makhluk ciptaan Allah Swt.
Anehnya, pada masa-masa akhir ini, sedikit saja perbedaan yang kita miliki, sudah dapat menimbulkan perpecahan. Kita melihat, betapa konflik-konflik antar masyarakat, hanya dipisahkan oleh kampung yang berbeda, kabupaten yang berbeda, bahkan keluarga besar yang berbeda. Lebih parahnya lagi, dengan alasan dan dalih agama, perpecahan juga timbul di masyarakat. Sebabnya antara lain, adanya satu kelompok yang merendahkan, melecehkan, bahkan menghina kelompok lain.
Kelompok-kelompok seperti inilah yang patut kita waspadai. Kelompok-kelompok “takfiri”, yang sering mengkafir-kafirkan kelompok lain hanya karena berbeda cara membaca surah, atau karena menganggap kelompok lain melakukan perbuatan yang tidak dicontohkan nabi, merupakan kelompok yang harus diwaspadai keberadaannya. Kelompok-kelompok ini awalnya kecil dan membaur, tetapi ketika sudah memiliki jumlah jamaah yang banyak, biasanya melakukan klaim-klaim kebenaran dan menyalahkan kelompok yang dia anggap “sesat”.
Mencegah Perpecahan
Salah satu upaya mencegah perpecahan di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan umat Islam adalah dengan menerima perbedaan. Kita semua menyadari, karena jauhnya jarak waktu dan tempat tinggal kita dari Nabi Muhammad Saw, tentu akan memunculkan perbedaan-perbedaan. Senyampang perbedaan itu tidak masuk dalam prinsip-prinsip agama (ushul al-din) tentunya harus kita terima sebagai bagaian dari khilafi ummati rohmatun. Boleh saja kita berkeyakinan bahwa faham kita adalah yang paling benar, tetapi tentu tidak tepat jika kita menyalahkan orang lain secara terbuka.
Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam sebenarnya sudah ada sejak masa Rasulullah Saw. Namun demikian tidak meruncing karena semua dapat menerima keputusan-keputusan Nabi Muhammad secara iklas dan penuh kesadaran sebagai bentuk ketaatan kepada Nabi Muhammad Saw. Di masa sahabat pun sudah banyak ditemukan perbedaan pendapat, apalagi di masa setelahnya.
Mahamud Syaltut dalam Quraish Shihab (1992) menyimpulkan enam faktor yang mengakibatkan perbedaan di kalangan ulama. Salah satu faktornya menyangkut periwayatan hadist. “Satu hadist mungkin diterim atau diakui oleh seorang alim, tetapi tidak diketahui atau tidak diakui ke-shahih-annya oleh alim yang lain. Hal ini antara lain karena perbedaan penilaian terhadap perawi hadist, yang merupakan hal yang sangat luas jangkauan pembahasannya dalam studi al-jarh wa al-ta’dil”.
Perbedaan diantara ulama dari masa ke masa tetap saja kita temukan. Baik dalam fiqh ibadah, dakwah, apalagi fiqh siyasah. Oleh karena itu, untuk mencegah perpecahan diantara umat Islam, jalan tengah yang bisa diambil adalah “bersepakat untuk tidak sepakat”. Dalam artian, jika tidak semua menyepakati suatu persoalan dengan sudut pandang dan solusi yang sama, sebaiknya semua pihak tetap bisa menghormati “ketidaksepakatan” itu. Biarlah satu kelompok tetap berjalan dengan keyakinannya, sementara kelompok lain melaksanakan keyakinan sendiri.
Namun demikian, dalam konteks tertentu, seperti telah terjadinya kesepakatan di masa sebelumnya, kesepakatan ini sudah tidak boleh lagi diganggu gugat. Salah satunya adalah kesepakatan bangsa Indonesia untuk mendirikan negara berdasarkan Pancasila. Kesepakatan semua komponen bangsa itu sudah tidak boleh lagi dilanggar dengan mendirikan negara berbentuk lain, karena itu akan melanggar kesepakatan awal. Pelanggaran itu akan berakibat sangat buruk seperti peperangan antar kelompok bahkan antar suku bangsa di Indonesia.
Para pendiri negara, khususnya dari kalangan ulama, telah mempertimbangkan dengan matang mengapa negara Pancasila dipilih. Pemilihan bentuk negara Pancasila dengan alasan yang sangat mendasar, yaitu realitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk. Ratusan suku bangsa yang mendiami ribuan pulau besar dan kecil di Nusantara tentu memiliki keyakinan yang berbeda. Oleh karena itu, Pancasila dipilih sebagai jalan tengah agara perbedaan diantara bangsa Indonesia tidak mengakibatkan perpecahan. Sehingga, mengganti Pancasila dengan ideologi lain, akan sangat riskan denga runtuhnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.