Pada tanggal 22 Mei 2017, Kementrian PPN/Bappenas merilis siaran pers tentang “Bonus Demografi 2030-2040; Strategi Indonesia Terkait Ketenagakerjaan dan Pendidikan”. Dalam siaran pers itu dijelaskan bahwa pada tahun 2030-2040 Indonesia diprediksi mengalami bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produkti (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk tidak produktif (berusia dibawah 15 tahun, dan di atas 64 tahun). Pada periode tersebut penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total penduduk yang diproyeksi sejumlah 297 juta jiwa pada periode tersebut.
Kondisi itu tentu akan sangat menguntungkan bagi bangsa Indonesia. Justru pada saat negara-negara lain mengalami kekurangan jumlah penduduk produktif, Indonesia malah sebaliknya. Negara-negara Eropa dimana angka kelahiran tertekan sangat kuat, ditopang oleh budaya masyarakatkanya yang “enggan” memiliki anak, mengakibatkan Eropa kekurangan penduduk usia produktif pada masa itu. Penduduk yang saat ini sedang pada usia produktif sudah akan memasuk fase tidak produktif, sementara akan kelahiran sangatlah kurang. Demikian juga yang terjadi di negara-negara di benua Amerika, maupun negara Asia lainnya, di luar Cina dan India, yang memang memiliki modal sumber daya manusia yang sangat cukup.
Dalam hal ini, Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari periode bonus demografi tersebut. Terutama, jika Indonesia dapat menyiapkan angkatan kerja yang memiliki pendidikan dan ketrampilan yang baik dan memiliki daya saing yang kuat, terutama dalam menghadapi keterbukaan pasar kerja. Jika tidak, kondisi ini akan berbalik arah, menjadi persoalan pengangguran yang tentu akan membebani anggaran negara.
Dalam hal pendidikan, anak-anak pra usia produktif pada saat ini harus mempersiapkan diri dengan berbagai kompetensi. Penguatan dan penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, dan bahasa-bahasa internasional lainnya seperti bahasa Arab, Perancis, dan Mandarin, sangat diperlukan sebagai modal meraih kompetensi komunikasi. Mempelajari bahasa asing, apalagi bahasa internasional, bukan berarti “tidak cinta tanah air”, tetapi justru dalam rangka mempersiapkan diri untuk kejayaan bangsa dan negara di masa depan.
Selain itu, penguasaan sain dan teknologi, khususnya teknologi informasi sangatlah dibutuhkan karena pada saat ini kita sudah akan memasuki era Revolusi Industri 4.0 dimana penguasaan teknologi digital sangat diperlukan. Keakraban generasi muda dengan istilah-istilah dan kerja digital sangat diperlukan agar dapat meraih kesempatan kerja yang sangat terbuka luas di bidang itu, bahkan sejak masa sekarang ini. Dengan penguasaan teknologi digital, anak-anak Indonesia dapat bekerja pada perusahaan-perusahaan di Eropa dan Amerika meskipun tanpa meninggalkan rumahnya. Bagi anak-anak generasi Z, work from home tidak saja terjadi karena Pandemi C19, tetapi memang merupakan kinerja biasa yang akan dilakukan sehari-hari senyampang tersedia jaringan internet dan alat pendukung lainnya. Hal ini tentu akan sangat menguntungkan karena anak-anak kita tetap bisa hidup dengan kultur Indonesia tetapi dapat memperoleh income dengan standard dolar, euro, atau poundsterling.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah sekolah-sekolah kita telah siap akan hal itu? Dalam artian siap membekali anak-anak dengan kompetensi komunikasi berbasis bahasa Internasional, ketrampilan berbasis teknologi digital, kreativitas tanpa batas, dan tentunya dengan tetap mendasari dengan iman dan takwa, serta pemahaman Islam dan akhlak mulia. Kesiapan itu mutlak diperlukan, apalagi jika kita juga ingin mengambil bagian dalam penyebaran Islam rahmatan lil aalamiin ke seluruh penjuru dunia, dengan mengandalkan kemampuan anak-anak kita saat ini. Kesempatan ini harus kita raih, dengan mengandalkan modal tekad, kerja keras dan cerdas, serta inovasi yang tiada henti. Semoga.