Semua guru pasti mendambakan murid yang cerdas, pandai, aktif, kreatif, dan berakhlak mulia. Itu semua merupakan kondisi ideal yang diharapkan oleh guru dan orang tua. Anak yang cerdas cepat menerima materi,. Anak yang aktif membuat suana pembelajaran menjadi dinamis. Anak yang kreatif dapa menyelesaikan masalah dengan berbagai kreasi. Dan yang terpenting, anak yang berkhlakak mulia akan menghormati gurunya, mentaati orang tuanya, dan menyayangi teman-temannya, dan terutama taat pada Allah dan Rasulnya.
Pada saat masih menjadi wali kelas saya mempunyai murid yang istimewa. Betapa tidak, hobinya membaca, luar biasa. Pengetahuannya luas. Pertanyaannya “aneh-aneh”, bahkan pada materi yang belum diajarkan gurunya. Sehingga, “terpaksa” saya harus bersiap dengan logika dan pengetahuan yang bisa menjadi modal menjawab pertanyaan teman-temannya.
Untungnya, anak ini hanya tertarik pada sains. Sehingga pertanyaan-pertanyaannya tidak terlalu membebani saya dengan hafalan. Sain adalah logika. Nama dan hafalan memang penting, tapi tidak terlalu penting juga. Logikan hukum alam jauh lebih mudah dipahami dan dapat “menenangkan” gejolak ingin tahu murid saya yang hebat ini.
Suatu saat pelajaran tematik saya pas membahas muatan ilmu pengetahuan alam. Materi intinya adalah tentang siklus air yang membahass tentang perubahan air dari wujud aslinya, menjadi uap, kemudian mendung lalu turun sebagai hujan dan mengalir ke laut. Ketika sudah masuk ke laut terkena panas matahari, kemudian menjadi uap lagi, jagi mendung lagi, dan seterusnya. Saya juga menjelaskan, bahwa air mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang lebih rendah. Sehingga kemana saja ada tempat yang lebih rendah, maka air akan mengalir ke dalamnya.
Tiba-tiba anak ini bertanya, “Mister, kalau air mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah, mengapa kita banyak menemukan sumber air justru di puncang gunung? Airnya dari mana itu? Kalau dari hujan, kan tidak setiap hari hujan. Kalau dari bawah, bagaimana? Kalau dari ikatan air yang diikat oleh akar-akar pohon, bisa juga. Tapi, hutannya juga gundul. Bagaimana?”
Tidak berhenti disitu, suatu saat yang lain, ketika saya sedang menjelaskan tata surya, ada pertanyaan yang muncul darinya. “Mister, kalau kita menempel di bumi, kenapa kita tidak jatuh. Kalau bumi mengelilingi matahari, mengapa jarak bumi dan matahari bisa tetap, tidak menjauh atau mendekat. Kan tidak ada talinya? Kok bisa begitu ya Mister?” tanyanya.
Bagiku pertanyaan demikian bagi anak kelas 4 SD merupakan pertanyaan luar biasa. Paling tidak, logika berpikirnya cukup jalan. Usut punya usut, ia memang memiliki banyak buku sain di rumahnya. Dan, hari-harinya dihiasi dengan kegiatan membaca dan membaca.
Tentu, anak ini bukan anak sempurna. Setiap anak pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya. Ada anak yang pandai matematika, tapi lemah ilmu pengetahuan sosial. Ada anak yang lemah di mapel pada umumnya, tapi hafalan dan bacaan al Qur’annya luar biasa. Ada anak yang lemah di akademis, tapi pada bidang seni dan olah raga justru menjadi jagonya.
Demikian juga dengan anak ini. Ia hebat di ilmu pengetahuan alam, tapi tulisannya…waduh…para “dokter” pun sulit membaca. Belum lagi di bidang-bidang lainnya, ketertibannya, kedisiplinannya, kerapiannya….pokoknya, nobody perfectlah. Intinya, sebagai guru ternyata kita harus “siap” menghadapi semuanya. Menghadapi anak yang cerdas dan pandai, harus punya modal. Menghadapi anak yang lemah, harus bisa memotivasi. Menghadapi anak “jahil” harus bisa mengatasi. Kalau muridnya pinter sekali, gurunya juga harus pinter sekali. (ans)