Semangat literasi mulai kembali mencuat. Sekolah-sekolah, kelompok masyarakat, organisasi profesi, dan kelompok-kelompok lainnya mulai memperhatikan pentingnya literasi. Hal ini sebagai salah satu bentuk kesadaran bersama bahwa minat baca bangsa Indonesia sangat rendah dibanding negara-negara lainnya.
Sebagaimana dilansir pada https://www.konde.co/2020/03, menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca! Ini merupakan jumlah yang mengecewakan karena artinya masih kecil budaya membaca orang Indonesia. Riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, dilakukan oleh Central Connecticut State University, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Padahal kalau dilihat di pameran-pameran buku, selalu ramai dikunjungi oleh banyak anak yang antusias membaca.
Meskipun, seseorang pernah bertanya, apa tolok ukur menakar minat baca yang digunakan oleh UNESCO? Apakah fokus pengukuran minat baca hanya terbatas pada pengukuran minat baca seseorang pada buku saja? Bagaimana dengan para santri di pondok pesantren yang hampir 24 jam menelaah kitab-kitab klasik berbahasa Arab yang mungkin sekali tidak dapat dibaca bahkan oleh serveyer dari UNESCO? Bagimana dengan ibu-ibu jamaah Yaasin dan Tahlil, atau orang-orang Islam yang tiap hari membaca Al Qur’an? Apakah itu tidak termasuk dalam tingginya minat baca?
Penyebab Rendahnya Minat Baca
Salah satu yang menyebabkan rendahnya minat baca adalah kurangnya buku bacaan yang menarik. Selama ini para siswa menganggap buku hanyalah buku pelajaran, buku paket, atau bahkan lembar kerja siswa. Buku-buku cerita tentang sejarah, komik-komik yang menguatkan karakter, buku ilmu pengetahuan tidak banyak ditemui di kamar-kamar siswa. Anak-anak sekarang lebih cenderung fokus pada gadget mereka untuk mendapatkan informasi. Apalagi banyak mesin pencari yang memudahkan mereka mencari jawaban pertanyaan atau tugas dari guru. Selebihnya, waktu mereka habiskan untuk bermain game atau menonton video.
Para ibu mereka juga tidak mencontohkan kebiasaan membaca yang baik. Menonton televisi dengan isian sinetron, telenovela, film televisi, musik, dan sebagainya masih lebih menarik daripada membaca buku. Bahkan, sekarang ini, hampir di semua rumah, sering kali kita lihat orang tua dan anak-anaknya saling berdiam meskipun berada di ruang yang sama karena sama-sama khusuk memperhatikan handphone mereka.
Upaya Meningkatkan Minat Baca
Untunglah akhir-akhir ini kesadaran pemerintah untuk meningkatkan minat baca semakin tinggi. Meskipun masih terbatas pada formalitas gerakan, paling tidak sudah ada pencanangan Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang tentunya diikuti dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Dimana, para guru dan kepala sekolah berkewajiban merancang program penguatan literasi siswa dalam upaya meningkatkan minat baca tersebut.
Alhasil, si sekolah-sekolah, sudut-sudut literasi mulai dibuat di sudut kelas. Anak-anak SMP dan SMA sudah mulai banyak membuat pondok literasi. Berbagai kompetisi berkaitan dengan membaca dan menulis mulai banyak di gelar. Pelatihan-pelatihan menulis juga mulai banyak diadakan sehingga upaya untuk meningkatkan minat baca dan menulis sudah mulai menggeliat.
Pemerintah juga mulai menerbitkan banyak buku yang kemudian dibagi gratis dalam bentuk e-book. Buku-buku cerita anak (cernak) dengan gambar yang cantik dan full color dapat diakses dengan mudah dan gratis di https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/category/modul-gls/page. Selebihnya di situs yang sama di laman yang berbeda kita juga dapat memperoleh bahan bacaan bertajuk modul Gerakan Literasi Keluarga (GLK) dan modul Gerakan Literasi Masyarakat (GLM). Semuanya berupa e-book dan gratis.
Lalu jawaban “membaca Al-Qur’an, kitab kuning, Yasin tahlil” apa tidak dikategorikan minat baca?, kakau iya, maka pesantren termasuk kategori tinggi minat bacanya, he he
artinya, yang diukur oleh UNESCO bukan termasuk itu…hehe