Dalam sebuah ceramahnya, KH Bahaudin Nursalim menceritakan murid seorang waliyullah yang bersua gurunya dalam mimpi, dan menanyakan apa yang terpenting dalam kehidupan kita? Ternyata, setelah kita masuk di alam barzah, yang terpenting adalah sujud-sujud kita kepada Allah Swt, bukan nama besar, pengaruh, jabatan, pertemanan, dan sebagainya.
Memang benar juga ya? Sering kali, dalam kehidupan riil skala mikro saja, hal-hal pokok dan utama seringkali terlupakan oleh hal-hal yang sebenarnya di luar konteks. Kita sering kali mementingkan dress code dalam sebuah seminar, daripada materi seminarnya itu sendiri. Ketika seminar selesai, apa yang kita dapat? Nothing. Tapi, persiapan pakaian yang kita pakai saja, bisa membutuhkan waktu berhari-hari.
Ketika “orang besar” datang, apa yang kita lakukan? Persiapan yang besar, makanannya apa, jenisnya apa saja, penyajiannya bagimana, nanti siapa yang menyambutnya, seragam panitianya apa, dan seterusnya. Substansinya apa? Ndak tau.
Padahal, beliau-beliau datang sesungguhnya membawa sesuatu yang penting. Seharusnya. Bukan sekedar seremonial atau bahkan protokol penyambutan yang wah. Dan, kok ya klop! Para “orang besar” justru mementingkan formalitas dari pada substansi kegiatannya! Sambutan yang meriah, setting acara yang mewah, atau hiburan yang heboh, justru mendapatkan penghargaan dari substansi acara kedatangannya itu sendiri. Atau, memang jangan-jangan substansi kegiatannya ya kemeriahan acara itu sendiri ya? Upps!
Kehidupan “modern” kita, telah menjebak kita kepada apa yang nampak penting. Essensi dan substansi berada dijajaran belakang dari perhatian kita. Padahal, hal terpenting yang kita butuhkan, adalah essensi dan substansi itu sendiri.
Untuk hidup kita perlu makan. Dalam ajaran Islam, makanan harus halalan thoyiban. Halal dilandaskan pada hukum syariat, baik hala dzat, cara memperoleh, dan cara mengelolanya. Sedangkan “toyib” juga bermakna sehat dan bergizi seimbang.
Jika kita berorientasi pada itu, maka yang terpenting adalah kehalalan makanan dan terpenuhinya gizi seimbang untuk tubuh kita. Sehingga, dalam membuat atau membeli makanan yang terpenting bagi kita seharusnya hanya pada rasa, kebersihan, gizi, dan kehalalannya. Bukan cara penyajiannya, bukan warna dan keindahannya, bukan tempat makannya, bukan kemasannya, apalagi kecantikan pelayannya! Hehe…
Sementara, makanan kita menjadi mahal justru bukan karena kebutuhan kita, tetapi karena keinginan kita. Nasi pecel masak sendiri hanya membutuhkan biaya 10 ribu untuk satu keluarga dengan 2 orang anak. Sementara, nasi pecel yang dibuat di rumah makan, membutuhkan 15 ribu untuk satu orang anggota keluarga. Jauhkan? Padahal, yang terpenting adalah terpenuhinya makan pagi kita saat itu, bukan “dimana” makan paginya.
Sebagian orang rela menjual sawah untuk membeli mobil, padahal ia hanya bekerja tak kurang dari 5 km dari rumahnya. Kebutuhan akan mobil pun bukan kebutuhan primer? Tapi, ia rela menjual sawah warisan orang tuanya. Apakah ia sangat membutuhkan mobil? Mungkin iya, untuk kepentingan-kepentingan acara keluarga? Tapi apakah ia membutuhkan mobil mewah yang harus menghabiskan ratusan juta? Nah ini masalahnya.
Dalam konteks agama, kita juga banyak mementingkan yang tidak penting dan mementingkan hal-hal yang tidak penting. Kewajiban shalat kita, lebih sering kita nomor duakan, dari pekerjaan, pertemuan, atau bahkan hanya sekedar melanjutkan menonton sinetron yang lagi seru-serunya. Kewajiban zakat kita, justru banyak kita lupakan karena kita gunakan dananya untuk berliburan jauh dan mahal, yang seharusnya kita letakkan di nomor berikutnya. Dan, masih banyak kepentingan-kepentingan dan kehebohan dunia, yang seringkali melupakan kita akan pentingnya hal-hal penting akhirat kita.
Wallahu’alam.