Kedatangan tahun 2021 melahirkan generasi baru. Generasi hasil gemblengan situasi dan kondisi yang seharusnya kebal senjata tajam, kuat seperti Samsoon, dan kreatif selayaknya Mac Gyver. Mengapa? Karena tahun sebelumnya telah meninggalkan persoalan yang sangat besar, memberikan tekanan agar tetap survive, dan tetap dapat mengembangkan diri dalam situasi yang serba sulit.
Sakit, sulit, pedih, perih, dan sedih yang disebabakan Pandemi Covid 19 bukan saja menggores kebahagiaan, tetapi memporak porandakan kehidupan. Sepuluh bulan lebih, hampir setahun, generasi-genarasi bangsa tidak belajar tatap muka. Target capaian pembelajaran diturunkan hingga tinggal 30%. Kurikulum diubah dan disederhanakan menjadi kurikulum “darurat” sehingga semuanya menjadi serba seadanya.
Sementara itu orang tua harus berjibaku untuk dapat bertahan hidup wajar. Pasar sepi, toko-toko berkurang pengunjung, kafe-kafe tutup, kegiatan yang melibatkan banyak massa dilarang, perjalanan terhambat, dan seterusnya. Banyak perusahaan yang jangankan berkembang, bertahan saja sulit. Ribuan bahkan jutaan orang dirumahkan dari tempatnya bekerja. Sementara sebaran virus masih tetap mengancam.
Ketika vaksin mulai diproduksi, tidak serta merta persolan selesai. Persoalan-persolan baru muncul bersamaan dengan berita-berita hoax maupun informasi yang sesungguhnya benar. Banyak pihak mulai meragukan vaksin padahal mereka dulu yang paling santer mengusulkan dan mendorong pemerintah untuk segera menyiapkan vaksin Covid 19. Wis, angel…wis….
Dalam cerita perwayangan, Gatut Kaca tidak mati, tetapi malah sakti ketika dibuang ke kawah Candradimuka. Di kawah itu ia mendapatkan banyak senjata, kekebalan, ilmu-ilmu kanuragan, dan sebagainya. Setelah masa penggemblengan di kawah Candradimuka selesai, lahirlah sosok super hero yang sakti mandraguna dan memiliki peran besar dalam perang Bharata.
Demikian juga dengan generasi ini. Tahun 2020 merupakan tahun sulit yang membuatnya belajar tidak hanya berdasarkan buku. Selama ini, mungkin lebih banyak ilmu yang didapatkan dari membaca buku teks pelajaran, buku-buku teknis, dan seterusnya. Saat-saat ini, generasi ini harus bisa mengkolaborasikan pengetahuan dari bangku sekolah dengan berbagai ilmu hal yang ada di lapangan.
Anak-anak sekolah tidak lagi belajar untuk mengetahui satuan panjang seperti milimeter, centimeter, meter, hekto meter, dan seterusnya. Di luar sekolah mereka belajar membuat layang-layang yang panjang sisi datarnya sekian centimeter, kemudian sisi tegaknya sekitan centimeter. Para gadis juga membantu orang tuanya untuk membuat roti dengan takaran tertentu menggunakan timbangan. Hari-hari ini mereka benar-benar tahu sepanjang apa sih satu meter, atau seberat apa sih tepung satu ons. Mereka benar-benar belajar dari kegiatan riil berkaitan dengan pelajaran mereka di sekolah, bukan hanya mempelajari ilmu ukur di atas kertas.
Secara menyeluruh, semua komponen bangsa mau tidak mau harus meng-upgrade kompetensi teknologi informasi mereka. Pasar sudah banyak ditinggalkan, diganti market place-nya e-commerce. Di dunia pendidikan para guru mau tidak mau harus dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk melanjutkan pembelajaran. Pendeknya, semua lini kehidupan masyarakat membutuhkan kehadiran teknologi informasi sebagai media utamanya.
Wis Tau Jeru
Generasi ke depan adalah generasi yang tangguh. Pengalaman masa Pandemi memang tidak sedahsyat masa kolonial, tetapi rasa takut, khawatir, dan keribetannya membuat banyak lini melemah, bahkan lumpuh. Kemampuan untuk bangkit dari kondisi ini tentu merupakan suatu modal kekuatan mental dan fisik yang sudah ditempa keadaan. Latihan fisik dan mental sebagai bentuk adaptasi terhadap keadaan yang memaksa, menjadi sarana “mendiklat” diri menjadi generasi yang tangguh secara mental, kreatif secara intelektual, dan solutif secara sosial.
Generasi sekarang ini wis tau jeru. Maknanya, pernah memasuki fase sulit yang sangat sulit. Ke depan, hal-hal sulit akan menjadi mudah. Inna ma’al usri yusro, sesungguhnya di dalam kesulitan terdapat kemudahan. Kemampuan generasi ini mengatasi persolan-persolan hidup membuat fase kehidupan berikutnya menjadi lebih mudah. Sehingga kalau ada lagi kesulitan di masa-masa mendatang, mereka akan mengatakan, “biasa saja, aku lo wis tau jeru…!”
Kepahitan hidup yang menempa seseorang memang seharusnya menjadikan dia semakin tangguh, leres pak….